Langsung ke konten utama

Cerpen "Mbah Slamet" Karya Tri Erviana

Ilustrasi (Doc. ACTA Diurna) 

Namanya Mbah Slamet, tubuhnya tua dan ringkih, jalannya terseok-seok, terkadang batuk satu dua kali memecah kesunyian pemakaman Jatiharum di ujung rumahku. Seingatku sejak pertama kali aku menempati daerah ini, Mbah Slamet memang sudah lama bertugas sebagai penjaga makam di sana. Jika saja aku Mbah Slamet, entah bagaimana nasibku, jujur saja aku agak sedikit penakut. Apalagi ditambah suasana pemakaman yang menurut sebagian orang horor meski sudah terlihat bersih berkat campur tangan Mbah Slamet.

" Lho na? Kamu belum pulang toh?," aku tersentak saat keluar dari gedung kantor, mengurut dadaku sebentar lantas beralih tersenyum ke arah Pak Mukti, satpam di kantorku. " Oh iya nih pak, maklum lagi lembur," ujarku di balas anggukan ramah Pak Mukti. Masih ada beberapa karyawan di dalam kantor yang juga ikut bekerja lembur hari ini. Aku melirik jam yang melingkar setia seharian ini di tanganku, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam, meski sudah larut begini sebenarnya tidaklah terlalu sepi untuk area perkantoranku. Masih banyak orang-orang berlalu lalang, khususnya anak-anak muda sekarang yang rasa-rasanya lebih dekat dengan malam daripada siang.

Terbersit seketika di pikiranku pemakaman Jatiharum yang luas itu, aku menghela nafas sebentar, menguatkan diri dan mengeraskan hati, harap-harap tidak ada suasana mencekam di sana. Meski sudah sering melewati area pemakaman itu setiap malam, tidak lantas membuatku terbiasa begitu saja. Apalagi terkadang sosok Mbah Slamet yang seperti muncul tiba-tiba di ujung pemakaman, duduk menghirup asap cerutunya yang selalu mengepul nyaris menutupi wajahnya yang sudah keriput itu. Entah dari mana asalnya, menurut orang-orang sekitar, Mbah Slamet telah menjaga pemakaman ini sejak zaman Belanda dulu, tidak terbayangkan olehku bagaimana harus bergelut dengan suasana pemakaman setiap hari begitu. Hidup Mbah Slamet sebagai penjaga makam, terkadang bergantung dari belas kasihan orang-orang yang datang berziarah ke makam saudara mereka dan sumbangsih kelurahan sebagai ucapan terima kasih setiap bulan kepada Mbah Slamet, rumahnya terletak agak di belakang pemakaman, tepatnya di pojok. Konon katanya, di dalam rumah kecil yang di diami Mbah Slamet terdapat sebuah kuburan tua yang dikabarkan adalah kuburan dari mendiang istri Mbah Slamet. Entah benar atau tidak rumor itu, aku yang telah berbiasa dengan Mbah Slamet dan keramahannya itu tidak terlalu ambil pusing.

Meski aku sudah mengenakan jaket tebal dan helm, tetap saja angin malam ini sangat dingin, membuatku harus sedikit menekuk badan di atas motor agar tidak terlalu kedinginan.

Pemakaman Jatiharum telah ada di depan mataku, asap berwarna abu-abu mengepul dari titik-titik tertentu di area pemakaman, pastilah tadi sore Mbah Slamet telah membakar sampah-sampah di sini. Ada perasaan tenang ketika aku melihat sosok Mbah Slamet yang duduk di depan pemakaman seperti biasanya, dalam cahaya lampu jalan yang menyinari wajah orang tua renta yang telah kukenal 10 tahun terakhir itu, aku yakin jika aku tidak salah lihat, wajah Mbah Slamet sangat pucat, seperti orang sakit, atau jika aku boleh menggambarkan secara terang-terangan, wajah Mbah Slamet yang pucat itu seperti tidak ada darah sama sekali. Namun orang tua itu tetap terlihat santai sembari menghembuskan asap dari cerutunya yang selalu setia bertengger di bibirnya.

" Malam Mbah," aku memelankan laju motor, amat pelan. Mbah Slamet adalah segalanya di pemakaman ini, meski pendengarannya sudah tidak berfungsi dengan baik selayaknya orang tua yang benar-benar sudah uzur, namun penglihatannya sepertinya masih cukup jelas, beliau akan dengan ramah menyapa orang-orang yang dikenalnya dengan senyuman khas ketika melewati area pemakaman. " Mbah paham ndak banyak orang yang berani lewat sini, makanya mbah harus jaga di depan sini, yahh jadi satpam-satpam an kira-kira..." ucap Mbah Slamet suatu kali diakhiri dengan kekehannya saat kutanyai mengapa beliau amat suka duduk di depan pemakaman saat malam-malam.

Mbah Slamet menyipitkan matanya lantas menyisipkan cerutunya di antara kedua jari-jarinya, balas menatapku. Tersenyum ramah seperti biasa. Namun, terang saja, rasanya ganjil sekali.

" Baru pulang ndhuk?," tanya Mbah Slamet sambil terkekeh.

" E-eh, iya mbah, saya ada lembur malam ini," ujarku menjelaskan dengan intonasi agak keras agar Mbah Slamet dapat mendengarku dengan jelas. Aku mematikan motorku sebentar. Sangat tidak sopan rasanya berbicara dengan orang tua seperti Mbah Slamet dalam keadaan aku masih mengendara. Mbah Slamet mengangguk-angguk paham, kembali menghisap cerutunya. Tanpa mengurangi rasa hormat, aku mengeluarkan selembar uang dua puluhan dari dompetku. " Ini buat Mbah beli jajanan besok," gumamku menyerahkannya ke tangan Mbah Slamet yang di terimanya dengan raut wajah penuh terima kasih dan berseri-seri. Selalu lega rasanya saat menyaksikan wajah tua itu berseri bahagia seperti ini, seperti aku berhasil membuat satu prestasi saja dengan menyenangkan orang lain. Namun, rasa dingin dari tangan Mbah Slamet yang kuserahi uang dua puluh ribu itu membuatku sedikit tersentak.

" Lho! Mbah sakit?," tanyaku khawatir. Bagaimana tidak, rasa-rasanya tidak ada orang-orang yang tidak menyayangi sosok berjasa satu ini, siapa pun mereka pasti dekat dengan Mbah Slamet, bahkan anak kecil sekalipun. Mbah Slamet hanya menggeleng-geleng lantas kembali tersenyum, mengatakan dirinya tidak apa-apa.

" Cuma kena angin malam, udah biasa kok mbah."

Aku melanjutkan perjalananku, meninggalkan Mbah Slamet sendiri di depan pemakaman yang di pancari lampu jalan yang terangnya memadai. Iseng aku menoleh ke belakang. Mendadak jantungku terasa ingin berhenti! Padahal baru berapa meter saja aku menjauh, sosok Mbah Slamet yang tadi kutemui sudah tidak ada. Rasa-rasanya untuk ukuran seorang seperti Mbah Slamet yang jalannya terseok-seok tidak mungkin secepat itu sudah tidak terlihat, area pemakaman ini juga amat luas. Sudahlah. Mungkin Mbah Slamet tidak terlihat olehku saja karena aku hanya melirik sekilas saja. Kutarik gas motorku dengan kencang saat rintik-rintik hujan mulai menetesi jaketku yang ber saja akhir basah.

Saat memasuki rumah, kulihat Ayah masih belum tidur, seperti baru saja menghadiri acara.

" Lembur na?," tanya Ayah yang baru saja akan masuk kamar. Aku mengiyakan lantas membuka jaketku yang sudah nyaris basah sepenuhnya. Ibu muncul dari dalam kamar, menyapaku lantas membawakan air hangat untukku minum.

" Kok ayah sama ibu tumben masih belum tidur jam segini? Biasanya kan sudah pada mendengkur." Sindirku tertawa yang dibalas cubitan kecil dari Ibu.

" Kayak habis pulang dari mana gitu," godaku.

" Iya na, kan baru pulang dari rumah duka," Ayah membuka obat anti nyamuk yang masih bertautan melingkar.

" Emang siapa yang meninggal bu?," tanyaku penasaran.

" Kan Mbah Slamet yang meninggal, kamu enggak tahu toh?," ujar Ibu mengingatkan.

Aku terhenyak, membayangkan pertemuannku dengan Mbah Slamet beberapa jam yang lalu. Bukankah tadi itu benar Mbah Slamet?

" Meninggal? Tadi Ana ketemu Mbah Slamet, ah Ayah sama Ibu pasti bohong kan? Enggak lucu deh." Ujarku mengeraskan pendapat dan hati.

" Kamu kudet sih. Mbah Slamet meninggal tadi siang na, pas tengah hari, ada warga yang menemukan beliau sudah tergeletak di rumahnya, kebetulan warga itu ada keperluan sama beliau. Pas datang udah enggak bernafas na." Penjelasan Ibu yang di sertai anggukan mantap dari Ayah membuatku mematung, darahku terasa mengalir cepat, bulu kudukku berdiri.

Lantas siapa yang kutemui beberapa jam lalu di depan pemakaman lantas ku serahi uang dua puluh ribu tadi?


Penulis: Tri Erviana

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi : "Negara Lucu" Karya Ragil Eldar Leonanta

 Gambar Oleh LPM Acta Diurna Negara Lucu karya : Ragil Eldar Leonanta Terlahir dari sebuah perjuangan Pertumpahan darah tak terhindarkan Kini tercapai cita-cita yang diinginkan Melihat merah putih yang selalu dikibarkan. Namun sekarang rakyat sedang bersedih Melihat negara yang mulai teronggoti Akibat penguasa yang memperkaya diri Kebebasan di halangi oleh hukum di negeri ini Namun hanya untuk rakyat yang tidak bermateri Semua dapat  di manipulasi jika kau bisa memberi Pencuri kecil di tangkap dan di hakimi Kasus tikus berdasi di tutut-tutupi dan di lindungi Bagai pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas Yang kecil akan semakin tertindas Selucu inikah negeriku ? Wakil rakyat namun tak memihak kepada rakyat Penuh dengan aturan yang hanya membuat benturan Tak pernah menuntun namun selalu di tuntut Tak sehaluan dapat mengancam diri sendiri Bagai boneka yang selalu di leluconi Benar kata pendahulu negeri Perjuanganku akan lebih mudah melawan penjajah Namun kalian akan lebih berat kar

Kesadaran terhadap Toxic Relationship menjadi fokus TLF 2022

  Gambar oleh ActaDiurna FH Untan  ACTADIURNA FH Untan- Tanjungpura Law Festival 2022 yang diadakan oleh Justitia Club sukses menggelar webinar nasional dengan tema “Ketika Cinta Menjadi Toxic : Abuse In Relationship” melalui zoom meeting pukul 07.30-selesai pada Sabtu, (5/3/2022). Benny B Hendry selaku ketua panitia T anjungpura Law Festival (TLF) itu menerangkan bahwa , latar belakang Justitia club mengambil tema dalam webinar nasional ini karena maraknya kekerasan dalam hubungan yang sering dianggap remeh, “Latar belakang utamanya adalah semakin maraknya kekerasan dalam hubungan, kami melihat bahwa kekerasan dalam hubungan ini , apalagi hubungan dalam bentuk pacaran, sering dianggap remeh oleh banyak orang. Padahal dampak yang ditimbulkan sama saja, dan tindak kekerasan tidak dapat dibenarkan. Jadi tema TLF tahun ini mengangkat kekerasan dalam hubungan dengan tujuan memberikan atensi dan edukasi kepada masyarakat terhadap kekerasan , ” Ungkapnya. Benny B Hendry pun menam

Puisi "Diskusi" Karya Sahrul Gunawan

  (Ilustrasi Acta Diurna) Diskusi Seperempat malam mencabik situasi sebelum pejam Ada beberapa perihal hidup redup yang harus ditulis ulang Tentang ayah yang mendesah kelelahan Tentang ibu yang memasak sedu sedan Juga tentang anak yang nanar menuntut kerajaan Ritme awal bisu, Masing-masing terpaku. Lalu satu pihak mulai meninggikan intonasi, membaca puisi keluh kesah yang selama ini menjadi petunjuk arah Satu pihak lagi memecah kaca, Menusuk malam hingga koyak gelapnya Sedang pihak ketiga berkukuh meminta nasi "Ayah, ibu, aku belum makan malam ini" Serempak dua pasang mata menajamkan ujungnya "Nak", "Malam ini kamu jadi menunya". Sepuluh detik Setelah anak Memutar fikir, Diskusi berakhir. Karya : Sahrul Gunawan