Oleh : Defria Puspita
Kapan lulus? kapan S2? kapan kerja? kapan Sukses? kapan nikah? kapan punya anak? kapan? dan kapan? Pertanyaan tersebut terus hadir dan menghantui. Semua terasa cepat, mengejar dan tidak ada habisnya. Teman-teman sudah ada yang menang lomba, jadi duta, ketua organisasi, dapat beasiswa, S2 di luar negeri, menikah, punya anak, punya pekerjaan, punya usaha, punya penghasilan, dan segala lainnya yang terlihat sempurna. Bahkan ketika dilahirkan ke dunia pun seorang bayi itu sudah terikat dengan perlombaan yang dibebankan kepada sang ibu. Bayi harus cepat tengkurap, duduk, merangkak dan sebelum usia 1 tahun harus sudah bisa berjalan, Masuk PAUD seorang anak dituntut harus bisa baca dan tulis hingga memiliki tulisan tangan yang indah.
Sistem yang dibuat pemerintah pun melanggengkan perlombaan hidup yang tidak sehat. Lulus SMA langsung kuliah karena ada pembatasan usia kelas reguler di Perguruan Tinggi Negeri yaitu 21 tahun, setelah kuliah harus segera dapat pekerjaan karena hal yang sama. Berdasarkan syarat batasan usia Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk lulusan baru antara 21-26 tahun, sarjana antara 25-30 tahun, dan pascasarjana memiliki batasan usia maksimal hingga 35 tahun. Sistem pemerintah membuat kita terus terkejar oleh waktu, batasan usia membuat kita berlari bahkan tidak memberi ruang untuk beristirahat atau bersedih.
Fenomena di atas disebut dengan Fast paced life, istilah dalam bahasa inggris yang berarti hidup serba cepat atau hidup dengan tempo cepat. Istilah ini biasa digunakan dalam gaya hidup masyarakat urban yang selalu menuntut untuk melakukan kegiatan dengan cepat. Pada era modern hidup secara cepat dan menjadi bagian dalam perlombaan tersebut adalah hal yang umum tapi tanpa kita sadari bahwa gaya hidup tersebut memberikan dampak yang buruk, di kutip dari VCCC artikel dengan judul “ How Does a Fast Paced Life Affect Our Health” disebutkan bahwa gaya hidup yang serba cepat memiliki kekurangan yaitu :
- Tekanan dalam manajemen waktu
- Terlalu banyak informasi yang diterima sehingga mudah merasakan kelelahan dan kehampaan
- Tuntutan kerja dengan jam kerja yang panjang, tenggat waktu yang ketat, serta ekspetasi yang tinggi menciptakan tekanan kerja yang besar.
- Pola makan yang tidak sehat yang dapat berpengaruh pada masalah kesehatan lainnya.
- Berkurangnya aktivitas fisik (olahraga) dikarenakan kesibukan
- Jam tidur berkurangan sehingga menimbulkan risiko insomnia.
- Stress tinggi dengan risiko anxiety sampai depresi.
Hidup serba cepat adalah hal yang melelahkan, melukai fisik dan mental, hidup dalam tekanan yang mengharuskan kita berlari. Dalam hal ini ada beberapa hal yang bisa kita lakukan agar terhindar dari fenomena hidup serba cepat, yakni :
- jangan membandingkan hidupmu dengan hidup orang lain di sosial media, maka bijaklah dalam menggunakan sosial media karena kita tidak pernah tau keseluruhannya.
- lakukan hobi yang kamu sukai, hal ini dapat mengurangi risiko stres, anxiety bahkan depresi.
- luangkan waktu lebih banyak untuk diri sendiri, misalnya dengan kamu menulis buku diary agar lebih mengenal diri sendiri.
- jadilah sahabat untuk dirimu sendiri
- melakukan metode mindfulness yaitu salah satu metode latihan untuk seseorang lebih fokus terhadap apa yang terjadi disekitarnya dan mampu menerima emosi secara terbuka.
- bersyukur dan menghargai apa yang dimiliki
- jika dirasa perlu jangan ragu untuk mengunjungi psikolog/psikiater.
Kisah Hidup pendiri restoran makanan cepat saji Harland “kolonel” Sanders sebelum sukses ia merasakan dipecat dan gagal berkali-kali, ia sukses saat usia 58 tahun, Vera Wang seorang perancang busana terkenal yang menjadi langganan para artis hollywood serta sering tampil pada acara Met Gala ini memulai bisnisnya pada umur 40 tahun. Stan Lee seorang komikus legendaris dengan karyanya berjudul Fantastic Four, Spider-Man, The Hulk, Blackpanther, dan karakter Marvel lainnya mendapatkan kesuksesannya ketika berusia 39 tahun. Sehingga kamu tidak perlu merasa gagal, tertinggal, apalagi terburu-buru, hiduplah untuk hari ini.
Mempunyai ambisi untuk jadi yang pertama ataupun rasa tidak ingin ketinggalan dari yang lain adalah hal yang wajar, tapi perlu dipahami bahwa hidup dengan gaya fast living membuat kita tidak dapat menikmati apa yang sedang dijalani. Berlomba dengan membandingkan kemampuan diri sendiri dengan orang lain tapi di satu sisi kita lupa bahwa medan yang dihadapi dan tujuan hidup antar individu berbeda. Apakah perlombaan seperti itu adil? tentunya tidak. Sudah saatnya fokus kepada diri sendiri dan tidak mengikuti perlombaan dengan menjadi versi terbaik dirimu, tidak apa-apa menepi sejenak dari hirup pikuk ombak dan ingatlah bahwa semua orang punya garis finishnya masing-masing.
Sumber:
https://www.deeptalk.co.id/dampak-negatif-fast-living-bagi-kesehatan-mental/
https://medium.com/@larisa04/the-fast-life-a-risky-lifestyle-cba8ba08ec67
https://ugm.ac.id/id/berita/23335-psikolog-ugm-paparkan-bahaya-hustle-culture/
https://vcarecancercenter.com/how-does-a-fast-paced-life-affect-our-health/
https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-mindfulness
https://www.hipwee.com/sukses/sukses-di-usia-tua/
Komentar
Posting Komentar